Jumat, 14 Juni 2013

PENTINGNYA MEMBANGUN SIKAP RESPEK

Seorang teman penulis yang saya kenal baik prestasinya suatu hari bercerita tentang undangan mengisi kultum Ramadhan di salah satu stasiun televisi swasta. Akan tetapi, keriangan dan cahaya di matanya berbeda saat beberapa hari kemudian kami bertemu.
Selidik punya selidik, perubahan suasana hatinya berawal ketika memasuki ruang rias sebelum syuting dilakukan. Di ruangan itu, dia bertemu dua perias (penata make up) dari sebuah merek kosmetik tradisional Indonesia yang terkenal. Namun, meski telah mengambil posisi duduk, tak ada satu pun yang menghampiri.

Seorang di antara mereka tampak sibuk membedaki wajahnya sendiri. Seorang lain mondar-mandir merapikan peralatan make up. Tepat ketika sang penulis menerka-nerka siapakah yang akan merias wajahnya, terdengar dialog sebagai berikut.
"Kamu saja yang meriasnya."
Tak ada 'pasien' lain di sana, kalimat itu pastilah dimaksudkan untuk si penulis.
Perias satunya menggeleng. "Kamu saja."
Dengan cepat, terjadi limpah-melimpahkan tugas. Seolah teman saya tidak berada di dalam ruangan. “Jika saya selebriti yang muncul setiap hari di televisi, akankah mereka tetap berlomba-lomba untuk tidak merias saya?” tanyanya.

Keprihatinan kemudian hadir, membayangkan perlakuan serupa yang sangat mungkin dialami kalangan 'biasa' lain, jika berhadapan dengan dua perias yang tidak profesional tersebut. Karena keduanya tak mengenal prestasi dan pencapaian teman saya, di mata mereka, dia bukanlah sosok penting yang pantas mendapatkan pelayanan baik.

Dalam kasus berbeda, seorang sepupu yang menghadiri buka puasa bersama dengan masyarakat dhuafa di sekitar perumahan tempat tinggal, berkisah tentang nasi kotak yang diperolehnya. Ternyata saat berbuka, warga perumahan menerima nasi kotak dengan ukuran lebih besar dan isi lebih baik, sedangkan masyarakat dhuafa mendapat nasi kotak lebih kecil dengan lauk sederhana. Lalu, bagaimana sepupu yang warga kompleks justru mendapatkan nasi kotak jatah dhuafa?

Ternyata-tidak seperti istrinya yang tampil rapi-sepupu saya datang dengan kaus sederhana sehingga tidak dikenali. Apalagi, ia belum lama pindah ke perumahan tersebut. Akibat kejadian ini, istrinya tak mampu menyentuh nasi kotak dengan lauk mewah yang didapat karena seharusnya mereka yang dhuafa mendapatkan makanan lebih baik dari warga kompleks yang kehidupannya sudah mapan.

Kultur memberi pelayanan lebih kepada sosok-sosok penting dan terkenal, dari servis standar yang diberikan terhadap masyarakat biasa, adalah salah satu “budaya” buruk yang masih terpelihara hingga kini.
Manusiawi. Sebab, Rasulullah pun pernah sempat mengabaikan seorang tua yang miskin karena mengutamakan mendekati pembesar meski demi kepentingan dakwah. Kejadian yang lalu diluruskan Allah lewat Alquran surah 'Abasa. Setelah itu, tak pernah lagi Rasul mengabaikan atau membedakan sikap kepada seseorang berdasarkan kedudukannya.

Beberapa hari lalu, seorang tenaga kerja Indonesia meninggal akibat berdesak-desakan saat mengantre terkait kebijakan pemutihan di KJRI Jeddah. Ribuan orang berpanas-panasan, membentuk antrean superpanjang dengan informasi simpang siur. Seandainya ribuan orang tersebut adalah tamu negara, seandainya yang datang adalah ribuan orang penting, apakah insiden ini akan terjadi?

Terbayang ketika kecil, dengan penampilan lusuh-umumnya anak-anak yang tinggal di daerah kumuh-saya mendapat pandangan sinis 'tidak akan sanggup membeli' dan tidak dilayani ketika memasuki sebuah toko. Pengalaman yang menjadi catatan penting saat saya kemudian membuka sebuah toko sederhana.

Di tempat kami, bagaimanapun penampilan yang datang, apakah mereka memborong atau tidak membeli sama sekali, semua mendapatkan penghargaan sama. Alasannya sederhana, kita wajib menghormati setiap orang karena mereka manusia.

Saya bisa mengerti adanya pelayanan dan fasilitas lebih baik bagi customer VIP dalam bisnis karena sudah membayar lebih, tapi sering kali komitmen melayani seadanya ini terjadi karena sikap memandang rendah. Dalam pelayanan publik yang tidak terkait kelas, siapa pun yang datang seharusnya mendapatkan perlakuan sama.

Belajar menghormati seseorang tanpa embel-embel uang, jabatan, dan popularitas. Sebab, sesungguhnya mulia seseorang karena takwanya kepada Allah. Dan, mereka yang menghampiri kita dengan sandal jepit lusuh, amat mungkin jauh lebih berharga dan dicintai di sisi-Nya. 

Oleh: Asma Nadia, Redaktur/Editor : M. Irwan Ariefyanto
Re-posting by Bio
Sumber: http://www.republika.co.id