Seorang teman penulis yang saya kenal baik
prestasinya suatu hari bercerita tentang undangan mengisi kultum Ramadhan di
salah satu stasiun televisi swasta. Akan tetapi, keriangan dan cahaya di
matanya berbeda saat beberapa hari kemudian kami bertemu.
Selidik punya selidik, perubahan suasana hatinya
berawal ketika memasuki ruang rias sebelum syuting dilakukan. Di ruangan itu,
dia bertemu dua perias (penata make up) dari sebuah merek kosmetik tradisional
Indonesia yang terkenal. Namun, meski telah mengambil posisi duduk, tak ada
satu pun yang menghampiri.
Seorang di antara mereka tampak sibuk membedaki
wajahnya sendiri. Seorang lain mondar-mandir merapikan peralatan make up. Tepat
ketika sang penulis menerka-nerka siapakah yang akan merias wajahnya, terdengar
dialog sebagai berikut.
"Kamu saja yang meriasnya."
Tak ada 'pasien' lain di sana, kalimat itu pastilah
dimaksudkan untuk si penulis.
Perias satunya menggeleng. "Kamu saja."
Dengan cepat, terjadi limpah-melimpahkan tugas.
Seolah teman saya tidak berada di dalam ruangan. “Jika saya selebriti yang
muncul setiap hari di televisi, akankah mereka tetap berlomba-lomba untuk tidak
merias saya?” tanyanya.
Keprihatinan kemudian hadir, membayangkan perlakuan
serupa yang sangat mungkin dialami kalangan 'biasa' lain, jika berhadapan
dengan dua perias yang tidak profesional tersebut. Karena keduanya tak mengenal
prestasi dan pencapaian teman saya, di mata mereka, dia bukanlah sosok penting
yang pantas mendapatkan pelayanan baik.
Dalam kasus berbeda, seorang sepupu yang menghadiri
buka puasa bersama dengan masyarakat dhuafa di sekitar perumahan tempat
tinggal, berkisah tentang nasi kotak yang diperolehnya. Ternyata saat berbuka,
warga perumahan menerima nasi kotak dengan ukuran lebih besar dan isi lebih
baik, sedangkan masyarakat dhuafa mendapat nasi kotak lebih kecil dengan lauk
sederhana. Lalu, bagaimana sepupu yang warga kompleks justru mendapatkan nasi
kotak jatah dhuafa?
Ternyata-tidak seperti istrinya yang tampil
rapi-sepupu saya datang dengan kaus sederhana sehingga tidak dikenali. Apalagi,
ia belum lama pindah ke perumahan tersebut. Akibat kejadian ini, istrinya tak
mampu menyentuh nasi kotak dengan lauk mewah yang didapat karena seharusnya
mereka yang dhuafa mendapatkan makanan lebih baik dari warga kompleks yang
kehidupannya sudah mapan.
Kultur memberi pelayanan lebih kepada sosok-sosok
penting dan terkenal, dari servis standar yang diberikan terhadap masyarakat
biasa, adalah salah satu “budaya” buruk yang masih terpelihara hingga kini.
Manusiawi. Sebab, Rasulullah pun pernah sempat
mengabaikan seorang tua yang miskin karena mengutamakan mendekati pembesar
meski demi kepentingan dakwah. Kejadian yang lalu diluruskan Allah lewat
Alquran surah 'Abasa. Setelah itu, tak pernah lagi Rasul mengabaikan atau
membedakan sikap kepada seseorang berdasarkan kedudukannya.
Beberapa hari lalu, seorang tenaga kerja Indonesia
meninggal akibat berdesak-desakan saat mengantre terkait kebijakan pemutihan di
KJRI Jeddah. Ribuan orang berpanas-panasan, membentuk antrean superpanjang
dengan informasi simpang siur. Seandainya ribuan orang tersebut adalah tamu
negara, seandainya yang datang adalah ribuan orang penting, apakah insiden ini
akan terjadi?
Terbayang ketika kecil, dengan penampilan lusuh-umumnya
anak-anak yang tinggal di daerah kumuh-saya mendapat pandangan sinis 'tidak
akan sanggup membeli' dan tidak dilayani ketika memasuki sebuah toko.
Pengalaman yang menjadi catatan penting saat saya kemudian membuka sebuah toko
sederhana.
Di tempat kami, bagaimanapun penampilan yang
datang, apakah mereka memborong atau tidak membeli sama sekali, semua
mendapatkan penghargaan sama. Alasannya sederhana, kita wajib menghormati setiap
orang karena mereka manusia.
Saya bisa mengerti adanya pelayanan dan fasilitas
lebih baik bagi customer VIP dalam bisnis karena sudah membayar lebih, tapi
sering kali komitmen melayani seadanya ini terjadi karena sikap memandang
rendah. Dalam pelayanan publik yang tidak terkait kelas, siapa pun yang datang
seharusnya mendapatkan perlakuan sama.
Belajar menghormati seseorang tanpa embel-embel
uang, jabatan, dan popularitas. Sebab, sesungguhnya mulia seseorang karena
takwanya kepada Allah. Dan, mereka yang menghampiri kita dengan sandal jepit
lusuh, amat mungkin jauh lebih berharga dan dicintai di sisi-Nya.
Oleh: Asma Nadia, Redaktur/Editor : M. Irwan Ariefyanto
Re-posting by Bio
Sumber: http://www.republika.co.id
Oleh: Asma Nadia, Redaktur/Editor : M. Irwan Ariefyanto
Re-posting by Bio
Sumber: http://www.republika.co.id